Senin, 22 Juli 2019

Upaya Orang Tua dalam Membimbing Remaja


A. Pendahuluan

Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Upaya rehabilitasi dianggap lebih tepat untuk mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal ini karena remaja adalah generasi penerus yang masih memungkinkan potensi sumberdaya manusianya berkembang, sehingga pada saatnya akan menggantikan generasi sebelumnya menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.

Pada saat ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja. Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan, tidak patuh pada
orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang yang melakukan kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap harinya 2500 anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan rendah, 135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau gonorhoe, dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (H Di Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun 1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data ini telah meningkat menjadi 18.946 pelaku yang ditangkap (Justika, 1999 dalam Uke Hani Rasalwati, 2004).

Beberapa perilaku kenakalan remaja di atas menunjukkan semakin merosotnya moral remaja. Remaja sebagai penerus bangsa perlu sekali mendapatkan pencegahan dan penanganan yang serius dari pemerintah berupa pembinaan, pendidikan. Lingkungan sekolah tidaklah cukup membentuk remaja yang beradab tanpa diimbangi oleh pendidikan di dalam keluarga. Sebab keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama. Maka dari itu penulis berusaha menjelaskan betapa pentingnya peran orang tua dalam membimbing remaja.

B. Pembahasan

1. Kebutuhan Remaja

Setiap manusia memiliki kebutuhan (fisiologis, psikologis dan sosiologis) yang memerlukan pemenuhan. Semua orang berusaha dengan berbagai sikap dan tingkah laku untuk memenuhi kebutuhannya itu. Demikian pula remaja memiliki tingkah laku untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Menurut Abraham Maslow, suatu kebutuhan dinamakan “dasar” jika memenuhi lima syarat berikut ini : a) Apabila hal yang dibutuhkan itu tidak ada/tidak terpenuhi, maka menimbulkan penyakit atau gangguan; b) Apabila yang dibutuhkan itu ada/terpenuhi, maka dapat mencegah terjadinya penyakit; c) Apabila seseorang mampu mengendalikan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka akan dapat menyembuhkan penyakit atau menghilangkan timbulnya gangguan pada dirinya.
Dalam beberapa situasi tertentu yang kompleks, kebutuhan ini lebih dipilih atau lebih penting oleh orang yang berada dalam keadaan kekurangan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain. Kebutuhan ini tidak begitu aktif atau menonjol secara fungsional pada kondisi normal atau sehat. Dikatakan sehat adalah orang yang prioritas kebutuhannya sudah berada pada pengembangan potensi aktualisasi diri (Heidier Marilla,2009) .

Adapun tujuh jenis kebutuhan khas remaja yang dikemukakan oleh Garrison (dalam Sri Jayantini, 2007) yaitu: a) Kebutuhan curahan kasih saying, b) Kebutuhan untuk diterima oleh kelompoknya, c) Kebutuhan untuk dapat mandiri, d) Kebutuhan untuk bisa berprestasi,

e)     Kebutuhan untuk dapat pengakuan dari orang lain, f) Kebutuhan untuk dapat dihargai, g) Kebutuhan untuk memperoleh falsafah hidup. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebutuhan-kebutuhan yang dipenuhi remaja sebagai berikut :

2. Kebutuhan Mendapat Curahan Kasih Sayang.

Setiap orang tua mengetahui bahwa anak membutuhkan kasih sayang. Yang perlu diperhatikan adalah kadar kebutuhan setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya. Anak yang satu membutuhkan kasih sayang yang lebih dari yang lain, walaupun tidak dapat mengekspresikan dengan jelas. Anak yang normal mempunyai kebutuhan kasih sayang yang berbeda dengan anak yang cacat atau kurang normal.

Kasih sayang sebagai kebutuhan yang mendasar bagi anak, akan mempengaruhi seluruh perkembangan hidupnya. Kasih sayang yang diperlukan adalah kasih sayang yang murni dan tulus dari orang tua. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dan tanpa syarat. Karena itu setiap orang tua harus selalu mengingat bahwa sangat mungkin bagi orang tua memberikan kasih dengan mengharapkan sesuatu dari anak. Orang tua yang memberikan kasih sayang sebagai alat agar anak melakukan kehendak orang tua, cenderung akan memanipulasi anak.

Pada dasawarsa terakhir, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran attachment yang kokoh (secure attachment), dan konsep-konsep terkait-seperti attachment dengan orang tua dalam perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri
seperti harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik (Allen, dkk, 1994; Kobak & Cole, dalam siaran pers; Kobak, dkk, 1993; Onishi & Gjerde, 1994). Misalnya, remaja yang memiliki relasi yang nyaman dengan orang tuanya memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik (Armsden & Greenberg, 1987). Sebaliknya, detachment emosional dari orang tua terkait dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar dan perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri sendiri (Ryan & Lynch, 1989). Dengan demikian attachment dengan orang tua selama masa remaja dapat berlaku sebagai fungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang secara psikologis sehat. Attachment yang kokoh dengan orang tua dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam suatu studi, bila remaja muda memiliki suatu attachment yang kokoh dengan orang tua mereka, mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga yang kohesif dan mengeluhkan sedikit kecemasan sosial atau perasaan-perasaan depresi (Papini, Roggman, & Anderson, 1990 dalam Santrock, 2002).


3. Kebutuhan Dapat Diterima Dalam Kelompok

Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia. Lebih lanjut Hartup dalam Santrock (1983 : 223) mengatakan bahwa teman sebaya (Peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama. Akan tetapi oleh Lewis dan Rosenblum dalam Samsunuwiyati (2005 : 145) Definisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis (dalam Hasman, 2009).

Kelompok teman sebaya merupakan interaksi awal bagi anak-anak dan remaja pada lingkungan sosial. Mereka mulai belajar bergaul dan berinteraksi dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan agar mereka mendapat pengakuan dan penerimaan dari kelompok teman sebayanya sehingga akan tercipta rasa aman.

Fungsi Kelompok teman sebaya dalam sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak atau remaja menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok temam sebaya. Mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain.

Kelompok memenuhi kebutuhan pribadi remaja, menghargai mereka, menyediakan informasi, menaikan harga diri, dan memberi mereka suatu identitas. Remaja bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan mereka beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan sangat menyenangkan dan menarik serta memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan untuk menerima penghargaan, baik yang berupa materi maupun psikologis. Kelompok juga merupakan sumber informasi yang penting. Saat remaja berada dalam suatu kelompok belajar, mereka belajar tentang strategi belajar yang efektif dan memperoleh informasi yang berharga tentang bagaimana cara untuk mengikuti suatu ujian.



4. Kebutuhan Untuk Dapat Mandiri

Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan: “Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya”.

Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson(dalam Hurlock,1992) yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitas ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang dirinya sendiri.

Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1992) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.

Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.

5. Kebutuhan Bisa Berprestasi.

Kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja. Kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Remaja yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika menghadapi masalah akan melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk memecahkan masalahnya. Mereka cenderung memilih cara-cara konstruktif dan menghindari kompensasi negatif ketika menghadapi suatu masalah (Wenar & Kering, 2000 dalam Safaria, 2007)

Motif berprestasi ini ditandai dengan dorongan dari individu untuk memperoleh kesuksesaan yang maksimal, menyukai tantangan pekerjaan, ingin menghasilkan prestasi yang tinggi dan semangat bersaing untuk menjadi yang terbaik. McClelland meneliti motif ini melalui sebuah tes yang dinamakan TAT (The Tematic Apperception Test) yaitu sebuah tes psikologi yang berisi gambar-gambar manusia yang sedang beraktivitas di dalam berbagai setting dan kondisi. Sebagai contoh gambar seorang pria yang sedang duduk dimeja kerjanya, didepannya ada lembaran kertas, di mejanya ada foto keluarganya, dan gambar ini bisa menimbulkan interpretasi ganda dengan melihat bahwa laki-laki itu seperti menatap foto keluarganya dan seperti berkonsentrasi pada pekerjaannya (McClelland. 1985 dalam Safaria, 2007).


6. Kebutuhan Harga Diri

Menurut Maslow disebut juga dengan “self esteem needs”. Setiap manusia membutuhakan pengakuan secara layak atas keberadaannya bagi orang lain. Hak dan martabatnya sebagai manusia tidak dilecehkan oleh orang lain, bilamana terjadi pelecehan harga diri maka setiap orang akan marah atau tersinggung.

Harga-diri mencakup aspek evaluasi terhadap diri sendiri, sejauhmana kita menilai diri kita secara positif/baik dan negatif/ buruk. Harga-diri bisa dikatakan sebagai seberapa jauh kita menilai dan menghargai keseluruhan diri kita sendiri. Harga-diri sendiri biasanya terbagi dalam beberapa dimensi atau aspek seperti keterampilan kognitif, keterampilan fisik, atau keterampilan sosial. Harga diri berkembang bersamaan dengan pengalaman-pengalaman kita dari hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Sebagai contoh, jika kita di masa lalu banyak meraih prestasi yang dibanggakan, maka pengalaman ini akan menjadi dasar bagai pengembangan harga-diri kita yang positif. Harga-diri yang positif dibentuk oleh prestasi-prestasi yang pernah kita peroleh di masa lalu, sehingga semakin banyak prestasi yang kita peroleh maka akan semakin positif harga-diri kita (Mussen dkk, 1994).

Sebaliknya, pengalaman kegagalan di masa lalu akan menjadi penyebab terbentuk harga-diri yang negatif. harga diri merupakan hasil dari prestasi-prestasi kita di masa lalu, sehingga karenanya penting bagi kita untuk meraih prestasi-prestasi yang bagi kita sendiri membanggakan agar harga-diri kita lebih positif.

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa harga diri berperan penting dalam individu. Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/ baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab.
Seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memiliki tindakan serta pemikiran yang positif, memiliki perasaan percaya diri, kreatif, yakin pada diri sendiri, dan berani. Harga diri merupakan bagian dari kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku individu. Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu.

Hal ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (1967 (dalam Agustina, 2008), bahwa harga diri hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu. Contoh salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap harga diri ditunjukkan oleh Krimmel yang menyimpulkan pendapat dari para ahli dan menyatakan bahwa wanita mempunyai harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding laki-laki. Apakah pendapat ini betul adanya, tentu saja kita perlu mengujinya secara empirik (dalam Agustina, 2008).


Harga diri dibangun atas tiga unsur yang fundamental (Lewis, 1997) : a) Rasa aman karena merasa dimiliki, b) Hal ini timbul karena ia merasa menduduki posisi yang berarti dankuat di dalam keluarga,

c)  Rasa puas karena ia merasa berhasil, d) Setiap anak perlu mendapat suatu kesempatan untuk merasa berhasil dalam melakukan sesuatu, dalam bidang apa saja, e) Sukacita karena merasa dihargai, f) Seorang anak akan senantiasa merasa bersukacita jika ia menyadari bahwa ia berharga dan hal itu dapat dicapai jika ia senantiasa dipelihara dengan ucapan-ucapan pujian yang tulus dan yang diberikan secara konsisten.

7. Memperoleh Falsafah Hidup.

Remaja mulai mempunyai keinginan untuk mengenal apa tujuan hidup dan bagaimana kebahagiaan diperoleh. Suatu filsafat hidup yang memuaskan adalah yang bernilai kemanusiaan. Jika filsafat hidup telah dimiliki, maka perasaan manusiawi tumbuh subur dalam diri remaja sehingga segenap aktivitasnya diliputi perasaan aman dan damai.( Elida Prayitno, 2006 dalam Heidier Marilla , 2009).
Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek atau sekumpulan objek yang lebih berdasarkan pada sistem nilai tertentu dari pada hanya sekedar karakteristik objek tersebut.

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976;Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri (dalam Ali M & Asrori M, 2005).

8.    Upaya-Upaya yang Dilakukan Orang Tua untuk Membimbing Remaja

Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik karena di dalam keluargalah seluruh anggota keluarga belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat. Dalam lingkup keluarga dimaksudkan bagaimana tingkah laku individu dalam keluarga berinteraksi dengan lingkungannya (baik dengan anggota keluarga sendiri maupun anggota masyarakat lainnya. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdasarkan agama dan hukum yang sah. Dalam arti yang sempit, keluarga terdiri dari ayah, ibu (dan anak) dari hasil perkawinan tersebut. Sedangkan dalam arti luas, keluarga dapat bertambah dengan anggota kerabat lainnya seperti sanak keluarga dari kedua belah pihak (suami dan istri) maupun pembantu rumah tangga dan kerabat lain yang ikut tinggal dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga (ayah).

Kehidupan keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut: a) Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya; b) Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain; c) Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain; d) Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga. Hal ini akan membentuk ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan nasional yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan negara (Setiawati).

Keluarga merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis. Keluarga merupakan sistem yang hampir sama dengan manusia, ia berkembang berdasarkan waktu. Perubahan terjadi di dalam keluarga, keluarga pada waktu anak berada pada tahap perkembangan anak berbeda dengan keluarga pada waktu anak sudah beranjak dewasa.

Pada umumnya orang tua yang memiliki anak yang sudah berada dalam tahap perkembangan remaja berada pada usia 35-40 tahun. Pada usia ini orang tua sering mengadakan perubahan dari kehidupannya sebelumnya. Orang tua mulai untuk menarik diri dan cara berpikirnya berusaha untuk mencari cara yang aman.

Kebutuhan dari masing-masing pihak, baik dari orang tua maupun dari anak yang berada pada masa remaja ini ingin dipenuhi. Menurut Mappiare (1982), kebutuhan remaja yang menuntut pemenuhan dari orang tua adalah pengakuan sebagai orang yang mampu untuk menjadi dewasa, perhatian dan kasih sayang.

Kontrol dari orang tua juga menjadi hal yang penting bagi remaja, menurut Blood (dalam Purwati,1989 dalam Setiawati), ada bebepa hal yang berkaitan dengan kontrol orang tua, yaitu:

a. Dalam menentukan standar dari tingkah laku yang dituju

Pertama, bagaimana ketepatan dan kejelasan peraturan yang dibuat (firmness). Jika orang tua menetapkan patokan (standart) yang jelas dan pasti bagi anak – anaknya dimana disertai dengan kebebasan di dalam patokan yang telah ditentukan, maka anak akan mendapat lingkungan yang baik bagi perkembangan sosialnya. Jika orang tua tidak memberikan patokan dan peraturan yang jelas maka berarti anak tidak dilindungi dari arah perkembangan yang dapat membahayakan penyesuaian sosial maupun kepribadiannya.

Kedua, konsistensi. Jika norma – norma atau peraturan yang diberikan ingin efektif, maka peraturan tersebut haruslah dimengerti, jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Ketidakjelasan dapat tampil jika kedua orang tua menerapkan peraturan yang berbeda, atau dalam pelaksanaannya seringkali tak tetap. Dari hasil penelitian Peck (1958) didapatkan bahwa anak – anak dari keluarga yang menetapkan konsistensi dari peraturan yang ditetapkan akan membentuk anak yang secara emosi matang, kata hatinya kuat, dan mampu untuk menepati peraturan – peraturan sosial.

Ketiga, Peraturan yang dapat diterapkan. Mengharapkan terlalu banyak atau terlalu rendah akan patokan – patokan yang harus dikuasai anak, tidak akan membentuk anak menjadi matang. Jika standar terlalu rendah anak menjadi tidak terdorong untuk maju, jika terlalu tinggi anak akan kecewa karena tidak dapat mencapainya. Jadi standar yang ditentukan harus disesuaikan dengan tingkatan usia dengan kondisi seperti ini anak akan terdorong maju untuk menguasai sesuatu tujuan.

Keempat, Penjelasan (reasoning). Peraturan yang diiringi penjelasan akan mampu membentuk kontrol yang bersifat intrinsik, sedangkan jika tanpa penjelasan maka anak tidak akan mampu untuk
mematuhinya karena peraturan tersebut bersifat eksternal, dimana kepatuhan yang ada hanya tergantung dengan adanya kehadiran orang tua saja.

Kelima, Mendengarkan (Listening). Penjelasan peraturan pada anak tidak saja hanya berbicara pada anak tapi juga mendengarkan reaksi dari anak. Dengan mendengarkan, orang tua dapat penegasan apakah anak dapat mengerti tentang hal – hal yang dibicarakan. Selain itu juga dapat menjadi tempat untuk memecahkan masalah jika anak merasa permintaan orang tua tidak dapat diterima. Dalam hal ini anak dan orang tua dapat bersama – sama mencari alternatif, sehingga dapat sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Kondisi ini juga mengembangkan suasana penghargaan terhadap anak dan orang tua.

b. Memperkuat proses belajar

Teori belajar mengatakan bahwa suatu respon harus diberi ‘reward’ (hadiah) jika ingin diperkuat. Dalam hal ini bagaimana respon orang tua akan menentukan kecepatan suatu respon dipelajari oleh seorang anak.

Pertama, Pengarahan dan percayaan. Pada masa kanak – kanak orang tua diharapkan untuk memberi pengarahan secara konsisten, agar ia mampu untuk menguasai tugas – tugas perkembangannya. Sedangkan semakin dewasa anak, anak lebih membutuhkan kepercayaan dari orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya, keperayaan yang diebrikan orang tua bahwa ia ammpu menyelesaikan tugas – tugas yang telah disepakati bersama, merupakan suatu ‘incentives’ tersendiri.

Kedua, Hadiah dan hukuman. Jika seorang anak mampu menyelesaikan suatu tugas, pemberian hadian akan memperkuat rasa kemampuannya, kompensasi terhadap kesulitan – kesulitan yang dialaminya, dan memperkuat keinginan untuk mengulangi tingkah lakunya. Jika anak tidak dapat menyelesaikan suatu tugas ia tidak akan mendapatkan hadiah. Sebaiknya pemberian hukuman dihindarkan, karena berakibat menyakitkan baik secara fisik maupun psikologis, selain itu akan timbul rasa dendam yang akan menghalangi proses sosialisasi. Hadiah dan hukuman dapat dibagi dalam bentuk fisikan dan bersifat psikologis. Secara umum hadiah yang bersifat psikologis lebih efektif dibandingkan dengan hukuman yang bersifat fisik.
Dengan demikian kontrol menjadi hal penting dari orang tua pada remaja dalam mengatasi permasalahan remaja yang berkaitan dengan kebutuhan remaja untuk diberi kebebasan. Namun tidak hanya remaja yang memiliki permasalahan, orang tua juga memiliki permasalahan dengan remaja. Orang tua juga sering merasa tidak diperhatikan, anak remajanya lebih senang meluangkan waktu lebih banyak dengan teman – temannya, sehingga orang tua merasa membutuhkan perhatian dari anak remajanya lebih banyak. Untuk mencapai hal tersebut, maka interaksi yang baik sangat dibutuhkan. Dukungan dari remaja bagi orang tuanya dibutuhkan, demikian juga dukungan dari orang tua sangat dibutuhkan remaja. Dukungan ini dapat diperoleh jika masing-masing pihak mau bekerja sama untuk mencapainya. Remaja sangat membutuhkan orang tuanya dalam mencari identitas dirinya, yang pada masa ini sedang dicari.



C. Simpulan

Dari uraian pembahasan ini maka dapat disimpulkan bahwa upaya orang tua dalam membimbing remaja dapat dilakukan dengan cara:

1.   Memberikan pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya;

2.   Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain;

3.   Memberikan kebebasan dalam pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain;

4.   Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga. Hal ini akan membentuk ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan nasional yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan negara .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar