A. Pendahuluan
Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak
masalah sosial yang semakin merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial
sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran
hukum atau tindak kejahatan. Upaya rehabilitasi dianggap lebih tepat untuk
mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal ini karena remaja adalah generasi
penerus yang masih memungkinkan potensi sumberdaya manusianya berkembang,
sehingga pada saatnya akan menggantikan generasi sebelumnya menjadi
pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada saat
ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja.
Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan,
tidak patuh pada
orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti
perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan,
pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang
yang melakukan kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap
harinya 2500 anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan
rendah, 135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan
melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis
atau gonorhoe, dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (H Di
Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun
1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data
ini telah meningkat menjadi 18.946 pelaku yang ditangkap (Justika, 1999 dalam
Uke Hani Rasalwati, 2004).
Beberapa perilaku kenakalan
remaja di atas menunjukkan semakin merosotnya moral remaja. Remaja sebagai
penerus bangsa perlu sekali mendapatkan pencegahan dan penanganan yang serius
dari pemerintah berupa pembinaan, pendidikan. Lingkungan sekolah tidaklah cukup
membentuk remaja yang beradab tanpa diimbangi oleh pendidikan di dalam
keluarga. Sebab keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama. Maka
dari itu penulis berusaha menjelaskan betapa pentingnya peran orang tua dalam
membimbing remaja.
B. Pembahasan
1. Kebutuhan Remaja
Setiap manusia memiliki
kebutuhan (fisiologis, psikologis dan sosiologis) yang memerlukan pemenuhan.
Semua orang berusaha dengan berbagai sikap dan tingkah laku untuk memenuhi
kebutuhannya itu. Demikian pula remaja memiliki tingkah laku untuk memenuhi
kebutuhannya itu.
Menurut Abraham Maslow, suatu
kebutuhan dinamakan “dasar” jika memenuhi lima syarat berikut ini : a) Apabila
hal yang dibutuhkan itu tidak ada/tidak terpenuhi, maka menimbulkan penyakit
atau gangguan; b) Apabila yang dibutuhkan itu ada/terpenuhi, maka dapat
mencegah terjadinya penyakit; c) Apabila seseorang mampu mengendalikan
terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka akan dapat menyembuhkan penyakit atau
menghilangkan timbulnya gangguan pada dirinya.
Dalam
beberapa situasi tertentu yang kompleks, kebutuhan ini lebih dipilih atau lebih
penting oleh orang yang berada dalam keadaan kekurangan dibandingkan dengan
kebutuhan yang lain. Kebutuhan ini tidak begitu aktif atau menonjol secara
fungsional pada kondisi normal atau sehat. Dikatakan sehat adalah orang yang
prioritas kebutuhannya sudah berada pada pengembangan potensi aktualisasi diri
(Heidier Marilla,2009) .
Adapun tujuh jenis kebutuhan khas remaja yang dikemukakan
oleh Garrison (dalam Sri Jayantini, 2007) yaitu: a) Kebutuhan curahan kasih
saying, b) Kebutuhan untuk diterima oleh kelompoknya, c) Kebutuhan untuk dapat
mandiri, d) Kebutuhan untuk bisa berprestasi,
e)
Kebutuhan untuk dapat pengakuan dari
orang lain, f) Kebutuhan untuk dapat dihargai, g) Kebutuhan untuk memperoleh
falsafah hidup. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
kebutuhan-kebutuhan yang dipenuhi remaja sebagai berikut :
2. Kebutuhan Mendapat Curahan Kasih
Sayang.
Setiap orang
tua mengetahui bahwa anak membutuhkan kasih sayang. Yang perlu diperhatikan
adalah kadar kebutuhan setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya. Anak yang
satu membutuhkan kasih sayang yang lebih dari yang lain, walaupun tidak dapat
mengekspresikan dengan jelas. Anak yang normal mempunyai kebutuhan kasih sayang
yang berbeda dengan anak yang cacat atau kurang normal.
Kasih sayang
sebagai kebutuhan yang mendasar bagi anak, akan mempengaruhi seluruh
perkembangan hidupnya. Kasih sayang yang diperlukan adalah kasih sayang yang
murni dan tulus dari orang tua. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dan
tanpa syarat. Karena itu setiap orang tua harus selalu mengingat bahwa sangat
mungkin bagi orang tua memberikan kasih dengan mengharapkan sesuatu dari anak.
Orang tua yang memberikan kasih sayang sebagai alat agar anak melakukan
kehendak orang tua, cenderung akan memanipulasi anak.
Pada dasawarsa terakhir, para ahli perkembangan mulai
menjelajahi peran attachment yang kokoh (secure attachment), dan
konsep-konsep terkait-seperti attachment dengan orang tua dalam
perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa attachment dengan orang tua pada
masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja,
sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri
seperti
harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik (Allen, dkk, 1994; Kobak
& Cole, dalam siaran pers; Kobak, dkk, 1993; Onishi & Gjerde, 1994).
Misalnya, remaja yang memiliki relasi yang nyaman dengan orang tuanya memiliki
harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik (Armsden &
Greenberg, 1987). Sebaliknya, detachment emosional dari orang tua
terkait dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang
lebih besar dan perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang
dimiliki diri sendiri (Ryan & Lynch, 1989). Dengan demikian attachment
dengan orang tua selama masa remaja dapat berlaku sebagai fungsi adaptif, yang
menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai
lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara
yang secara psikologis sehat. Attachment yang kokoh dengan orang tua
dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi perasaan-perasaan depresi
atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa. Dalam suatu studi, bila remaja muda memiliki suatu attachment yang
kokoh dengan orang tua mereka, mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga
yang kohesif dan mengeluhkan sedikit kecemasan sosial atau perasaan-perasaan
depresi (Papini, Roggman, & Anderson, 1990 dalam Santrock, 2002).
3. Kebutuhan Dapat Diterima Dalam
Kelompok
Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering
didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti
kesamaan tingkat usia. Lebih lanjut Hartup dalam Santrock (1983 : 223)
mengatakan bahwa teman sebaya (Peers) adalah anak-anak atau remaja dengan
tingkat usia atau kedewasaan yang sama. Akan tetapi oleh Lewis dan Rosenblum
dalam Samsunuwiyati (2005 : 145) Definisi teman sebaya lebih ditekankan pada
kesamaan tingkah laku atau psikologis (dalam Hasman, 2009).
Kelompok teman sebaya merupakan interaksi awal bagi
anak-anak dan remaja pada lingkungan sosial. Mereka mulai belajar bergaul dan
berinteraksi dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan
agar mereka mendapat pengakuan dan penerimaan dari kelompok teman sebayanya
sehingga akan tercipta rasa aman.
Fungsi Kelompok teman sebaya dalam sejumlah penelitian telah
merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang
sangat penting bagi perkembangan pribadi. Salah satu fungsi kelompok teman
sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan
perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak atau remaja menerima
umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok temam sebaya.
Mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari
yang dilakukan oleh anak-anak lain.
Kelompok memenuhi kebutuhan pribadi remaja, menghargai
mereka, menyediakan informasi, menaikan harga diri, dan memberi mereka suatu
identitas. Remaja bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan mereka
beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan sangat menyenangkan dan menarik
serta memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka
bergabung dengan
kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan untuk menerima penghargaan,
baik yang berupa materi maupun psikologis. Kelompok juga merupakan sumber
informasi yang penting. Saat remaja berada dalam suatu kelompok belajar, mereka
belajar tentang strategi belajar yang efektif dan memperoleh informasi yang
berharga tentang bagaimana cara untuk mengikuti suatu ujian.
4. Kebutuhan Untuk Dapat Mandiri
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi
remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih
dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai
dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari
ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.
Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan:
“Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik,
seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja
kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan
sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya”.
Dalam
pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri
sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk
diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson(dalam
Hurlock,1992) yang menamakan proses tersebut sebagai “proses mencari identitas
ego”, atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui
peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang dirinya
sendiri.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses
sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1992)
mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir
secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga
menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola
perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan
lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan
orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan
untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga
tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal
yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan
untuk dapat diterima oleh kelompoknya.
Memperoleh kebebasan (mandiri)
merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja
harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat
keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan
berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang
dewasa lainnya dalam banyak hal.
5. Kebutuhan Bisa Berprestasi.
Kebutuhan
berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja.
Kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada
pencapaian prestasi. Remaja yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika
menghadapi masalah akan melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk
memecahkan masalahnya. Mereka cenderung memilih cara-cara konstruktif dan
menghindari kompensasi negatif ketika menghadapi suatu masalah (Wenar &
Kering, 2000 dalam Safaria, 2007)
Motif
berprestasi ini ditandai dengan dorongan dari individu untuk memperoleh
kesuksesaan yang maksimal, menyukai tantangan pekerjaan, ingin menghasilkan
prestasi yang tinggi dan semangat bersaing untuk menjadi yang terbaik.
McClelland meneliti motif ini melalui sebuah tes yang dinamakan TAT (The
Tematic Apperception Test) yaitu sebuah tes psikologi yang berisi gambar-gambar
manusia yang sedang beraktivitas di dalam berbagai setting dan kondisi. Sebagai
contoh gambar seorang pria yang sedang duduk dimeja kerjanya, didepannya ada
lembaran kertas, di mejanya ada foto keluarganya, dan gambar ini bisa menimbulkan
interpretasi ganda dengan melihat bahwa laki-laki itu seperti menatap foto
keluarganya dan seperti berkonsentrasi pada pekerjaannya (McClelland. 1985
dalam Safaria, 2007).
6. Kebutuhan Harga Diri
Menurut
Maslow disebut juga dengan “self esteem needs”. Setiap manusia membutuhakan
pengakuan secara layak atas keberadaannya bagi orang lain. Hak dan martabatnya
sebagai manusia tidak dilecehkan oleh orang lain, bilamana terjadi pelecehan
harga diri maka setiap orang akan marah atau tersinggung.
Harga-diri mencakup aspek
evaluasi terhadap diri sendiri, sejauhmana kita menilai diri kita secara
positif/baik dan negatif/ buruk. Harga-diri bisa dikatakan sebagai seberapa
jauh kita menilai dan menghargai keseluruhan diri kita sendiri. Harga-diri
sendiri biasanya terbagi dalam beberapa dimensi atau aspek seperti keterampilan
kognitif, keterampilan fisik, atau keterampilan sosial. Harga diri berkembang
bersamaan dengan pengalaman-pengalaman kita dari hasil interaksi dengan
lingkungan sosial. Sebagai contoh, jika kita di masa lalu banyak meraih
prestasi yang dibanggakan, maka pengalaman ini akan menjadi dasar bagai
pengembangan harga-diri kita yang positif. Harga-diri yang positif dibentuk
oleh prestasi-prestasi yang pernah kita peroleh di masa lalu, sehingga semakin
banyak prestasi yang kita peroleh maka akan semakin positif harga-diri kita
(Mussen dkk, 1994).
Sebaliknya,
pengalaman kegagalan di masa lalu akan menjadi penyebab terbentuk harga-diri
yang negatif. harga diri merupakan hasil dari prestasi-prestasi kita di masa
lalu, sehingga karenanya penting bagi kita untuk meraih prestasi-prestasi yang
bagi kita sendiri membanggakan agar harga-diri kita lebih positif.
Penelitian
yang ada menunjukkan bahwa harga diri berperan penting dalam individu. Menurut
Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri
negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki
tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah
dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua,
orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri
sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/ baik untuk
menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil
langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak
sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk
mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka
akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung
menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan
bertanggungjawab.
Seseorang yang memiliki harga
diri tinggi akan memiliki tindakan serta pemikiran yang positif, memiliki perasaan
percaya diri, kreatif, yakin pada diri sendiri, dan berani. Harga diri
merupakan bagian dari kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku individu.
Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, namun merupakan
faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (1967 (dalam Agustina, 2008), bahwa
harga diri hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu. Contoh
salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap harga diri ditunjukkan oleh Krimmel yang
menyimpulkan pendapat dari para ahli dan menyatakan bahwa wanita mempunyai
harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding
laki-laki. Apakah pendapat ini betul adanya, tentu saja kita perlu mengujinya
secara empirik (dalam Agustina, 2008).
Harga
diri dibangun atas tiga unsur yang fundamental (Lewis, 1997) : a) Rasa aman
karena merasa dimiliki, b) Hal ini timbul karena ia merasa menduduki posisi
yang berarti dankuat di dalam keluarga,
c) Rasa puas karena ia merasa
berhasil, d) Setiap anak perlu mendapat suatu kesempatan untuk merasa berhasil
dalam melakukan sesuatu, dalam bidang apa saja, e) Sukacita karena merasa
dihargai, f) Seorang anak akan senantiasa merasa bersukacita jika ia menyadari
bahwa ia berharga dan hal itu dapat dicapai jika ia senantiasa dipelihara
dengan ucapan-ucapan pujian yang tulus dan yang diberikan secara konsisten.
7. Memperoleh Falsafah Hidup.
Remaja
mulai mempunyai keinginan untuk mengenal apa tujuan hidup dan bagaimana
kebahagiaan diperoleh. Suatu filsafat hidup yang memuaskan adalah yang bernilai
kemanusiaan. Jika filsafat hidup telah dimiliki, maka perasaan manusiawi tumbuh
subur dalam diri remaja sehingga segenap aktivitasnya diliputi perasaan aman
dan damai.( Elida Prayitno, 2006 dalam Heidier Marilla , 2009).
Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu
objek atau sekumpulan objek yang lebih berdasarkan pada sistem nilai tertentu
dari pada hanya sekedar karakteristik objek tersebut.
Karena
masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976;Adi,
1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya
tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono,
1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan
imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha
mengembangkannya sendiri (dalam Ali M & Asrori M, 2005).
8.
Upaya-Upaya yang Dilakukan
Orang Tua untuk Membimbing Remaja
Keluarga pada hakekatnya
merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di
masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio
berbagai unsur sistem sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan
menghasilkan warga masyarakat yang baik karena di dalam keluargalah seluruh
anggota keluarga belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat. Dalam lingkup
keluarga dimaksudkan bagaimana tingkah laku individu dalam keluarga
berinteraksi dengan lingkungannya (baik dengan anggota keluarga sendiri maupun
anggota masyarakat lainnya. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdasarkan agama dan hukum yang
sah. Dalam arti yang sempit, keluarga terdiri dari ayah, ibu (dan anak) dari
hasil perkawinan tersebut. Sedangkan dalam arti luas, keluarga dapat bertambah
dengan anggota kerabat lainnya seperti sanak keluarga dari kedua belah pihak
(suami dan istri) maupun pembantu rumah tangga dan kerabat lain yang ikut
tinggal dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga (ayah).
Kehidupan
keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut: a) Pembinaan
nilai-nilai dan norma agama serta budaya; b) Memberikan dukungan afektif,
berupa hubungan kehangatan, mengasihi
dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling
menghargai, dan lain-lain; c) Pengembangan pribadi, berupa kemampuan
mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun
orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung
jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain; d) Penanaman kesadaran atas
kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan
sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pencapaian
fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan
menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota
keluarga. Hal ini akan membentuk ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk
ketahanan masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan
nasional yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan
negara (Setiawati).
Keluarga merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis.
Keluarga merupakan sistem yang hampir sama dengan manusia, ia berkembang
berdasarkan waktu. Perubahan terjadi di dalam keluarga, keluarga pada waktu
anak berada pada tahap perkembangan anak berbeda dengan keluarga pada waktu
anak sudah beranjak dewasa.
Pada umumnya
orang tua yang memiliki anak yang sudah berada dalam tahap perkembangan remaja
berada pada usia 35-40 tahun. Pada usia ini orang tua sering mengadakan
perubahan dari kehidupannya sebelumnya. Orang tua mulai untuk menarik diri dan
cara berpikirnya berusaha untuk mencari cara yang aman.
Kebutuhan dari masing-masing pihak, baik dari orang tua
maupun dari anak yang berada pada masa remaja ini ingin dipenuhi. Menurut
Mappiare (1982), kebutuhan remaja yang menuntut pemenuhan dari orang tua adalah
pengakuan sebagai orang yang mampu untuk menjadi dewasa, perhatian dan kasih
sayang.
Kontrol dari
orang tua juga menjadi hal yang penting bagi remaja, menurut Blood (dalam
Purwati,1989 dalam Setiawati), ada bebepa hal yang berkaitan dengan kontrol
orang tua, yaitu:
a. Dalam menentukan standar dari tingkah laku yang dituju
Pertama,
bagaimana ketepatan dan kejelasan peraturan yang dibuat (firmness). Jika
orang tua menetapkan patokan (standart) yang jelas dan pasti bagi anak –
anaknya dimana disertai dengan kebebasan di dalam patokan yang telah
ditentukan, maka anak akan mendapat lingkungan yang baik bagi perkembangan
sosialnya. Jika orang tua tidak memberikan patokan dan peraturan yang jelas
maka berarti anak tidak dilindungi dari arah perkembangan yang dapat
membahayakan penyesuaian sosial maupun kepribadiannya.
Kedua,
konsistensi. Jika norma – norma atau peraturan yang diberikan ingin
efektif, maka peraturan tersebut haruslah dimengerti, jelas dan konsisten dalam
pelaksanaannya. Ketidakjelasan dapat tampil jika kedua orang tua menerapkan
peraturan yang berbeda, atau dalam pelaksanaannya seringkali tak tetap. Dari
hasil penelitian Peck (1958) didapatkan bahwa anak – anak dari keluarga yang
menetapkan konsistensi dari peraturan yang ditetapkan akan membentuk anak yang
secara emosi matang, kata hatinya kuat, dan mampu untuk menepati peraturan –
peraturan sosial.
Ketiga,
Peraturan yang dapat diterapkan. Mengharapkan terlalu banyak atau
terlalu rendah akan patokan – patokan yang harus dikuasai anak, tidak akan
membentuk anak menjadi matang. Jika standar terlalu rendah anak menjadi tidak
terdorong untuk maju, jika terlalu tinggi anak akan kecewa karena tidak dapat
mencapainya. Jadi standar yang ditentukan harus disesuaikan dengan tingkatan
usia dengan kondisi seperti ini anak akan terdorong maju untuk menguasai
sesuatu tujuan.
Keempat,
Penjelasan (reasoning). Peraturan yang diiringi penjelasan akan
mampu membentuk kontrol yang bersifat intrinsik, sedangkan jika tanpa
penjelasan maka anak tidak akan mampu untuk
mematuhinya karena peraturan
tersebut bersifat eksternal, dimana kepatuhan yang ada hanya tergantung dengan
adanya kehadiran orang tua saja.
Kelima,
Mendengarkan (Listening). Penjelasan peraturan pada anak tidak
saja hanya berbicara pada anak tapi juga mendengarkan reaksi dari anak. Dengan
mendengarkan, orang tua dapat penegasan apakah anak dapat mengerti tentang hal
– hal yang dibicarakan. Selain itu juga dapat menjadi tempat untuk memecahkan
masalah jika anak merasa permintaan orang tua tidak dapat diterima. Dalam hal
ini anak dan orang tua dapat bersama – sama mencari alternatif, sehingga dapat
sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Kondisi ini juga mengembangkan suasana
penghargaan terhadap anak dan orang tua.
b. Memperkuat proses belajar
Teori
belajar mengatakan bahwa suatu respon harus diberi ‘reward’ (hadiah) jika ingin
diperkuat. Dalam hal ini bagaimana respon orang tua akan menentukan kecepatan
suatu respon dipelajari oleh seorang anak.
Pertama,
Pengarahan dan percayaan. Pada masa kanak – kanak orang tua diharapkan
untuk memberi pengarahan secara konsisten, agar ia mampu untuk menguasai tugas
– tugas perkembangannya. Sedangkan semakin dewasa anak, anak lebih membutuhkan
kepercayaan dari orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya, keperayaan yang
diebrikan orang tua bahwa ia ammpu menyelesaikan tugas – tugas yang telah
disepakati bersama, merupakan suatu ‘incentives’ tersendiri.
Kedua,
Hadiah dan hukuman. Jika seorang anak mampu menyelesaikan suatu tugas,
pemberian hadian akan memperkuat rasa kemampuannya, kompensasi terhadap
kesulitan – kesulitan yang dialaminya, dan memperkuat keinginan untuk
mengulangi tingkah lakunya. Jika anak tidak dapat menyelesaikan suatu tugas ia
tidak akan mendapatkan hadiah. Sebaiknya pemberian hukuman dihindarkan, karena
berakibat menyakitkan baik secara fisik maupun psikologis, selain itu akan
timbul rasa dendam yang akan menghalangi proses sosialisasi. Hadiah dan hukuman
dapat dibagi dalam bentuk fisikan dan bersifat psikologis. Secara umum hadiah
yang bersifat psikologis lebih efektif dibandingkan dengan hukuman yang
bersifat fisik.
Dengan
demikian kontrol menjadi hal penting dari orang tua pada remaja dalam mengatasi
permasalahan remaja yang berkaitan dengan kebutuhan remaja untuk diberi
kebebasan. Namun tidak hanya remaja yang memiliki permasalahan, orang tua juga
memiliki permasalahan dengan remaja. Orang tua juga sering merasa tidak
diperhatikan, anak remajanya lebih senang meluangkan waktu lebih banyak dengan
teman – temannya, sehingga orang tua merasa membutuhkan perhatian dari anak
remajanya lebih banyak. Untuk mencapai hal tersebut, maka interaksi yang baik
sangat dibutuhkan. Dukungan dari remaja bagi orang tuanya dibutuhkan, demikian
juga dukungan dari orang tua sangat dibutuhkan remaja. Dukungan ini dapat
diperoleh jika masing-masing pihak mau bekerja sama untuk mencapainya. Remaja
sangat membutuhkan orang tuanya dalam mencari identitas dirinya, yang pada masa
ini sedang dicari.
C. Simpulan
Dari uraian
pembahasan ini maka dapat disimpulkan bahwa upaya orang tua dalam
membimbing remaja dapat dilakukan dengan cara:
1.
Memberikan
pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya;
2.
Memberikan dukungan afektif, berupa
hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan,
memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain;
3.
Memberikan kebebasan dalam
pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun
emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian;
melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan
lain-lain;
4.
Penanaman kesadaran atas kewajiban,
hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai
ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pencapaian fungsi-fungsi
keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi
lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga.
Hal ini akan membentuk ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan
masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan nasional
yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan negara .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar